Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, kas negara nyaris kosong. Pemerintah hampir tak memiliki dana untuk menjalankan roda pemerintahan, sementara perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari Belanda terus berlangsung sengit.
Dalam situasi yang sangat genting tersebut, pemerintah mengambil langkah berisiko: menjual secara diam-diam sumber daya alam, termasuk emas, ke luar negeri. Langkah ini diambil untuk mengisi kas negara yang kosong, seperti yang dicatat oleh Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia 1945-1948 (1991). Namun, proses ini harus dilakukan secara rahasia karena Belanda juga mengincar sumber daya tersebut untuk membiayai perang mereka.
Emas dari Cikotok, Banten: Dari Jakarta ke Yogyakarta
Emas yang dijual berasal dari tambang emas di Cikotok, Banten. Setelah diolah di pabrik emas Jakarta, logam mulia ini dipindahkan ke Yogyakarta—kota yang saat itu menjadi ibu kota pemerintahan setelah Jakarta jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer I tahun 1947. Pemindahan emas dilakukan secara senyap menggunakan kereta api, dengan pengiriman awal mencapai 5 ton dan bertambah hingga total mencapai sekitar 7 ton.
Sebagian emas digunakan untuk membeli senjata dan logistik perang, namun saat Agresi Militer II pada 1948, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta. Presiden Soekarno ditangkap, dan pemerintahan terpaksa pindah ke Sumatera Barat secara darurat.
Penyelundupan Emas ke Makau: Perjalanan Berbahaya yang Berbuah Manis
Masih tersisa sekitar 7 ton emas batangan di Yogyakarta, tetapi membawanya ke Sumatera Barat dalam situasi perang terbuka bukan perkara mudah. Akhirnya, para pejuang memutuskan untuk menyelundupkan atau menjual emas tersebut ke luar negeri agar tidak jatuh ke tangan Belanda.
Menurut diplomat Indonesia Aboe Bakar Lubis dalam Kilas Balik Revolusi (1992), emas tersebut diangkut menggunakan truk dan gerobak sapi yang disamarkan dengan dedaunan agar tak terdeteksi oleh tentara Belanda maupun mata-mata.
Perjalanan dimulai dari kantor pusat Bank Nasional Indonesia di Yogyakarta menuju Bandara Maguwo sejauh 10 kilometer. Dari sana, emas diterbangkan dengan pesawat tempur, singgah di Filipina, dan akhirnya mendarat di Makau.
Makau dipilih sebagai tujuan karena kota ini sudah dikenal sebagai pusat judi dunia, dengan banyak kasino besar yang beroperasi dan perputaran uang yang sangat besar. Harapannya, emas milik Indonesia bisa laku terjual di sana tanpa masalah.
Hasil Penjualan dan Dampaknya bagi Perjuangan Diplomasi
Benar saja, 7 ton emas tersebut berhasil dijual seharga Rp140 juta pada masa itu — angka yang sangat besar dan jika dikonversikan ke harga emas sekarang nilainya mencapai triliunan rupiah. Dana hasil penjualan langsung digunakan untuk membiayai perjuangan diplomasi Indonesia di luar negeri.
Dana ini membiayai operasional para diplomat, kantor perwakilan Indonesia di berbagai negara, serta kegiatan diplomasi penting lainnya. Berkat kegigihan dan kepiawaian para diplomat, Indonesia akhirnya mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional dari berbagai negara dan lembaga global.
Penutup
Kisah penjualan emas ini menunjukkan bagaimana perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukan hanya terjadi di medan perang, tetapi juga melalui strategi diplomasi dan manajemen sumber daya yang cerdas. Keberanian pemerintah saat itu mengambil risiko besar demi kelangsungan negara adalah bukti betapa berat dan kompleksnya perjuangan bangsa ini untuk meraih pengakuan dunia.